#Slice of Life 

Mati Dalam Tawa


Aku sudah tidak memiliki penyesalan, atau seperti itulah aku menganggapnya. Entah karena tiada tempat tuk mengistirahatkan jiwa ini, atau karena ada suatu kekecewaan yang tidak kusadari, aku masih memiliki wujud di dunia ini. Berbeda dari cerita yang sering kudengar, mereka bisa menyadari keberadaanku, melihatku, mendengar suaraku. Apa yang terjadi? Sejak kelopak mataku membuka di bawah pohon yang mengering, pertanyaan itu terus terngiang di kepalaku. Intinya, aku adalah arwah penasaran.

Sosok yang memiliki penyesalan semasa hidupnya.

Hantu.

Atau begitulah diriku yang dulu menyebutnya.

Aku tidak tahu apa penyesalan itu, tetapi entah bagaimana sepasang kaki—yang anehnya bisa menapak di atas tanah—ini tahu harus berjalan kemana. Tidak jauh dari tempat terseraknya abu jenazahku, sebuah bangunan berlantai dua berdiri. Aku tahu tempat itu. Ya, aku sangat mengetahuinya. Walau tiada air mata menetes, aku tahu diri ini menangis ketika berdiri tak jauh darinya. Rumahku, rumah kami, tidak pernah terpikirkan aku akan melihatnya setelah jantung ini tak lagi berdetak. Entah karena suatu kebetulan, aku merasa langit telah mewakilkan haruku. Hujan turun, aku dapat merasakan pipiku yang basah, genangan di bawah kakiku. Rasa tidak percaya bahwa aku telah mati luntur setiap tetes air mengenai diriku. Aku hidup, untuk saat ini, untuk detik ini, aku hidup.

Aku hidup.

Dan, seseorang memanggilku.

Wajahnya dipenuhi keriput dan tak lagi kencang, helai-helai putih rambutnya tak lagi samar, waktu telah menunjukkan kuasanya terhadap pria itu. Badannya telah mengurus tapi tetap terlihat bugar, matanya masih sebiru kala itu. Dengan sebuah payung, sosoknya baru saja keluar dari rumah di depanku. Aku mengenalnya, tentu saja aku mengenalnya, walau tidak lagi muda, aku masih mengenalnya. Wajah kebingungan yang ia tunjukkan—matanya yang sedikit membelalak dan mulutnya yang sedikit terbuka—telah membuat senyum di wajah ini tuk pertama kalinya.

“Apa yang kamu lakukan di sana? Masuklah.”

Menggeser badannya dan membukakan pintu masuk bagiku, tanpa bertanya nama, ia menawarkan sosok ini tempat berteduh. Lega, mungkin itulah yang kurasakan ketika menerima kebaikan pria itu.

Aku mencoba memberi senyum, “Terima kasih.”

Apa yang menyambutku di balik pintu ini tidak seharusnya mengherankan, tapi entah kenapa perasaan kerinduan mengalir ke seluruh tubuhku. Letak meja yang tidak berubah, kursi-kursi kayu tua, dan bar yang berada di ujung tengah ruangan. Bagiku, waktu telah berhenti di tempat ini, aku bisa membayangkan diriku yang dulu sibuk melayani pelanggan di hadapanku.

Pria itu menutup pintu dan berjalan menuju ruang belakang setelah memintaku tuk mengambil sembarang tempat. Dia benar-benar tertipu dengan penampilan ini. Aku tidak bisa menyembunyikan kekecewaanku, padahal aku bisa mengingatnya walau dengan wajah berkeriput dan rambut beruban itu. Rambut ini tidak lagi berwarna arang, melainkan berubah seputih salju musim dingin. Aku juga merasa tubuh ini lebih muda daripada seharusnya. Baginya, aku hanyalah gadis sekolahan yang secara kebetulan berada di depannya waktu hujan.

Tidak Apa. Aku tidak keberatan dia menganggapku seperti itu.

Lagipula mempermainkan dirinya yang telah bertambah usia kurasa akan sangat menyenangkan.

Tempat ini hanya menyediakan kopi sebagai menu utamanya, di bar para pelanggan dapat melihat minuman hitam pekat milik mereka diseduh oleh pria itu. Anak-anak terkagum-kagum melihat kepulan asapnya, si pemesan dapat menikmati aroma kopi pilihan mereka sebelum menyeduhnya. Menurutku tempat itulah yang terbaik di sini. Salah satu dari lima kursi yang disediakan, yang berada di pojok kanan merupakan tempat favoritku semasa hidup. Seharusnya pria itu dapat menyadarinya.

Setelah beberapa saat ia keluar dengan sebuah handuk biru yang belum pernah kulihat. Ketika aku mau beranjak dari duduk pria itu menghentikannya dan berjalan menghampiri. Dengan senyum simpul ia memberikan handuk tersebut, aku mengambilnya dan mengusap pelan wajah kemudian rambutku. Ketika aku baru sadar kalau sedang mengenakan gaun putih. Anehnya, ketika kusentuh tidak ada kelembapan yang kurasakan di kainnya. Aku segera mengembalikan handuk pemberiannya ketika ia kembali dari ruang belakang.

“Apa kau ingin pergi ke suatu tempat?” tanyaku ketika teringat payung yang ia bawa tadi.

Ia menggeleng, “Tidak perlu khawatir, aku bisa pergi nanti. Tetaplah di sini hingga hujan selesai.”

Sekali lagi pria itu meninggalkanku dan pergi ke ruang belakang. Terlambat menyadarinya, aku melihat buku menu yang sedari tadi ada di hadapanku. Aku tersenyum ketika melihat sesuatu yang baru di daftarnya, sebuah racikan baru khas tempat ini. Apa dia menambahkannya setelah kepergianku? Aku tidak lagi bisa menahan tawa ketika membaca nama racikan miliknya. Aku tidak menyangka namau akan ada di daftar menu ini, walau aku tahu ia memang orang yang hobi mengenang masa lalu.

Jujur, sebenarnya aku sedikit khawatir kalau dia sudah—

“Apa kamu ingin mencobanya?” tanyanya yang membuyarkan pikiranku.

Kugelengkan kepala, “Aku tidak punya uang.”

“Tenang saja, tidak perlu membayar. Lagipula kamu butuh sesuatu untuk menghangatkan tubuh,” ucapnya sembari mengambil posisi di belakang bar.

“Terima kasih,” ucapku sembari melihat daftar menu sekali lagi walau aku sudah tahu apa yang ingin kupesan, “apa aku bisa memesan yang ini?”

Pria itu melihat ke menu yang kutunjuk, senyum kecil muncul di antara keriput wajahnya. “Sungguh kebetulan. Baiklah, aku akan segera menyiapkannya.”

Setelah berkata seperti itu, sepasang tangan cekatan miliknya bergerak menyiapkan filter bag dan berbagai macam bijih kopi yang telah menjadi bubuk dari stoples yang tersusun rapi di rak belakangnya. Mata ini memperhatikan setiap gerakannya, dan aku menyadari sesuatu ketika ia selesai meracik kopinya. Aku tahu apa yang ia buat. Perasaan sedih dan bahagia bercampur aduk di dalam hatiku, tubuhku sedikit gemetar karena perasaan yang menggebu-gebu ini. Aroma yang tercium telah meyakinkanku bahwa apa yang ia buat adalah kopi yang biasa ia sajikan setelah kami bekerja seharian.

Aku pernah meminta tuk memasukkanya ke dalam daftar menu, tapi ia menolak. “Aku ingin hanya kamu yang bisa menikmatinya,” sejak dulu dia memang jago mengatakan gombalan tanpa ia sadari. Di meja ruang tamu, berbicara satu sama lain, kami menikmati waktu setelah kelelahan bekerja sepanjang hari. Aku tidak bisa mengharapkan lebih untuk seorang suami darinya. Dalam hati, aku berbicara.

“Hey, suamiku, gadis ini adalah istrimu, loh!”

Ya, wanita yang mencintaimu semasa hidupnya dan setelah kematiannya, wanita itu adalah aku, yang sekarang berada di depanmu. Aku yang hanya bisa tersenyum tuk menyemangati kita berdua, dan kamu yang selalu memberiku kasih sayang dalam segala cara. Memang benar kita tidak dikaruniai seorang buah hati, dan maafkan aku karenanya, aku telah gagal menjadi seorang istri yang baik bagi suaminya. Saat itu, kamu tersenyum, memelukku dalam kehangatan tubuhmu, dan mengusap pelan rambutku, berkata bahwa semua akan baik-baik saja asal ada diriku di sisimu.

Hey.

Apa aku sudah menjadi istri yang baik bagimu?

“Maaf membuatmu menunggu,” ucapnya sembari menyajikan segelas kopi.

Aku menengadahkan kepala, senyumnya menyapaku ketika mata kami bertemu. Perlahan kulingkarkan jari di cangkir kopi itu dan menyeduhnya, Rasa yang sama… aku dapat merasakan kasih sayangnya tertuang di setiap tetesnya. Semasa hidupku, apa aku benar-benar pantas mendapatkan suami sebaik dirinya?

“Dasar, apa kamu sebegitunya cinta padaku…”

Tanpa menghabiskan kopi yang telah susah payah ia buat, aku beranjak dari duduk dan berjalan menuju pintu keluar. Setengah jalan dan aku berhenti, berbalik badan, melihatnya yang masih mematung di tempat. Aku ingat hari apa ini, dan aku juga tahu tempat apa yang tadi ia ingin tuju. Hari dimana aku mati dalam tawa bahagia, dalam pelukannya karena penyakitku.

“Apa aku boleh mengatakan sesuatu?”

Pria paruh baya itu mengangguk.

“Sebenarnya aku merasa sedikit malu saat melihat namaku di daftar menu, tapi aku juga senang. Terima kasih. Sampai jumpa.”